“Aku” sebagai tokoh utama.
Penulis adalah “aku” sebagai tokoh utama cerita dan mengisahkan
dirinya sendiri, tindakan, dan kejadian disekitarnya. Pembaca akan menerima
cerita sesuai dengan yang dilihat, didengar, dialami, dan dirasakan “aku”
sebagai narator sekaligus pusat cerita.
Contoh:
Sambil bermain aku melirik topi lakenku. Kulihat
sebuah kursi roda. Duduk di kursi roda itu, seorang tua yang wajahnya tak bisa
kulihat dengan jelas karena memakai topi laken seperti aku. Rambutnya gondrong
dan sudah memutih seperti diriku, namun ketuaannya bisa kulihat dari tangannya
yang begitu kurus dan kulitnya yang sangat keriput. Tangan itulah yang
terangkat dan tiba-tiba menggenggam sebuah gitar listrik yang sangat indah.
Contoh :
Ku Relakan Engkau Pergi
Namaku Salsa, aku mempunyai sahabat yang sempurna. Dan bernama Nia. Aku barsahabat
dengannya semenjak kecil, dikarenakan rumah kita berdekatan. Keluargaku pun
juga akrab dengan keluarga Nia.
Setiap hari, waktu ku habis bersamanya. Aku sangat bersyukur bisa menghabiskan
waktu dengannya. Aku tau semua tentangnya. Aku tak mau waktu memisahkan kita.
Aku sangat sayang padanya.
Pada suatu hari, Nia dan keluarganya harus keluar kota untuk mengunjungi
neneknya. Sebab mereka sangat rindu kepada beliau. Sebelum Nia dan keluarganya
berangkat, mereka tak lupa untuk pamit kepada keluargaku. Aku sedih berpisah
dengan Nia. Perasaanku berkata akan terjadi apa-apa dengan mereka. Aku berusaha
untuk tidak menghiraukan persaan itu, dan ku peluk Nia erat-erat sambil
berbisik lirih,”Cepat kembali Nia!” Nia hanya tersenyum dengan manisnya, sambil
memberikan kunci rumahnya. Setelah menerima kunci itu rasanya hatiku mulai bisa
menerimannya dan tenang. Setelah itu Nia dan keluarngnya bergegas masuk mobil
dan berangkat. Tak lupa juga lambaian tangan dari Nia untukku dari dalam cendela
mobil. Dalam hatiku, semoga engkau selamat.
Sudah 1 minggu Nia tak kunjung pulang. Aku hanya bisa melihat rumah terkunci
dari cendela kamarku. Aku sangat rindu padanya. Tawanya membuatku tidak
kesepian seperti ini. Aku ingin Nia segera pulang, segera bermain bersama
kembali. Sekian lama ku merenung, angin sepoi-sepoi telah membuatku tertidur
sejenak. Tiba-tiba mimpi buruk tentang Nia membangunkanku. Membuatku terdiam
sejenak. Saatku terdiam, terdengar suara tangisan menggangguku. Aku pun beranjak
dari kursi dan perlahan mencari suara itu. Saat ku buka pintu kamarku, terlihat
ibuku sedang menangis. Aku terkejut, lalu aku bertanya kepada ibu apa yang
terjadi? Tanpa dijawab, ibu langsung memelukku dengan erat. Aku semakin
binggung apa yang sebenarnya terjadi. Lalu ibu berbisik lirih dengan diiringi
tangisan, “Salsa ikhlaskan Nia pergi ya nak?” Mendengar bisikan itu, mataku
mulai berkaca-kaca, hatiku seperti tertusuk, dan aku hanya bisa terdiam. Lalu
aku melepaskan pelukan ibu dengan pelan. Ibu menyadari bahwa aku kurang
percaya, oleh karna itu ibu menjelaskan bahwa Nia dan keluarganya kecelakaan
dan mayat mereka sudah dimakamkan di desa daerah neneknya. Penjelasan itu
membuat air mataku jatuh, hatiku tergoncang dan aku langsung berlari meninggalkan
ibu menuju kamar. Aku masih tak percaya dengan peristiwa itu.
Dipikir-pikir aku sudah mengurung diri di kamar selama 1 minggu. Aku mulai
merasa bosan mengurung diri ini. Lalu aku kuatkan tubuh yang lunglai ini untuk
beranjak dari tempat tidurku menuju kursi dekat cendela kamarku. Saat aku
membuka kaca cendela, aku melihat matahari yang mulai meninggi, burung-burung
yang berterbangan, dan udara sejuk yang kurasakan. Tapi entah kenapa, sudut
pandangku berubah menuju rumah yang terkunci dan berdebu. Mataku mulai
berkaca-kaca kembali. Lalu aku memegang kunci yang tergeletak di meja sambil
aku genggam. Lalu aku mulai beranjak lagi dari kursi dan keluar dari kamar. Aku
mulai keluar rumah menuju rumah Nia. Saat aku membuka pintu rumah Nia dengan
kunci yng aku bawa, udara pengap menyapa ku. Ku lanjutkan tuk masuk ke dalam
dengan pelan. Di dalam ruangan terlihat lorong-lorong bawah kursi tampak
bersawang. Aku tetap melanjutkan menuju kamar Nia. Saat ku membuka pintu kamar
Nia, terlihat foto-fotoku bersamanya tertempel di dinding dengan rapi.
Mengingatkanku akan saat bermain bersamanya. Air mataku mulai menetes kembali.
Lalu kubuka cendela kamar Nia agar udara masuk dengan lancar. Saatku buka
cendela, tiba-tiba ada sekilas bayangan lewat di belakangku. Aku menoleh dengan
respon. Angin juga tiba-tiba berhembus menerpaku sampai menjatuhkan dan membuka
diary Nia. Aku terkejut , entah siapa yang menjatuhkan diary ini. Aku mulai
merasa merinding, tapi ku beranikan tuk pelan-pelan mengambil dan membacanya.
Tanganku tiba-tiba gemetar saat membaca tulisan, “Relakan aku pergi Salsa”.
Membaca tulisan diary itu, aku langsung berlari sambil kujatuhkan diary itu.
Aku sangat ketakutan, sampai-sampai aku tak sadar bahwa kunci masih menggantung
di pintu rumah Nia. Aku tak peduli. Aku langsung masuk kamar dengan
terburu-buru.
Setelah aku menenangkan diriku, aku kembali lagi ke dalam rumah Nia untuk
membereskan kekacauan yang terjadi sebelumnya. Aku mengambil diary yang jatuh
dan meletakkan kembali di atas meja yang biasanya Nia taruh. Setelah itu aku
mengunci kembali pintu rumah Nia. Akhirnya aku bisa mengambil keputusan
sekarang, setelah merenung, dan memikirkan peristiwa yang terjadi. Ternyata
mengikhlaskan sahabat pergi itu tidak mudah, tapi aku harus berusaha mengikhlaskan
kepergiannya agar ia pergi dengan tenang meskipun hati ini terasa sakit. Ku kan
ikhlaskan engkau pergi Nia, wahai sahabatku.
0 komentar:
Posting Komentar