Dalam sudut pandang ”dia” terbatas, seperti halnya
dalam”dia”mahatahu, pengarang melukiskan apa yang dilihat, didengar, dialami,
dipikir, dan dirasakan oleh tokoh cerita, namun terbatas hanya pada seorang
tokoh saja atau terbatas dalam jumlah yang sangat terbatas. Tokoh cerita
mungkin saja cukup banyak, yang juga berupa tokoh ”dia”, namun mereka tidak
diberi kesempatan untuk menunjukkan sosok dirinya seperti halnya tokoh pertama.
Contoh:
Entah apa yang terjadi dengannya. Datang-datang ia langsung marah. Memang kelihatannya ia punya banyak masalah. Tapi kalau dilihat dari raut mukanya, tak hanya itu yang ia rasakan. Tapi sepertinya ia juga sakit. Bibirnya tampak kering, wajahnya pucat,dan rambutnya kusut berminyak seperti satu minggu tidak terbasuh air. Tak satu pun dari mereka berani untuk menegurnya, takut menambah amarahnya.
Entah apa yang terjadi dengannya. Datang-datang ia langsung marah. Memang kelihatannya ia punya banyak masalah. Tapi kalau dilihat dari raut mukanya, tak hanya itu yang ia rasakan. Tapi sepertinya ia juga sakit. Bibirnya tampak kering, wajahnya pucat,dan rambutnya kusut berminyak seperti satu minggu tidak terbasuh air. Tak satu pun dari mereka berani untuk menegurnya, takut menambah amarahnya.
Contoh :
Si Dali bukan orang biasa. Sudah jadi tokoh.
Bahkan tokoh luar biasa. Hidupnya selalu dalam cahaya yang bersinar
terang. Gemerlap dengan warna-warni yang aduhai indahnya. Lebih dari
pelakon utama di atas panggung sandiwara. Karena pelakon Julius Casar,
atau King Lear, atau Macbeth hanya gemerlap pada sebatas bidang panggung.
Apalagi bila layar panggung telah turun atau di luar gedung sandiwara para
pelakon kembali jadi manusia biasa. Adakalanya mereka menjadi seperti orang
kere yang selesai melakonkan Gatotkaca pada wayang wong masa lalu. Sedangkan Si
Dali berada seperti pada panggung dunia yang tak lagi dibatasi oleh sepadan
negara. Kata orang, Si Dali jadi begitu karena dia tidak pernah hidup dalam
kegelapan. Kegelapan malam maupun kegelapan siang. Artinya dia hidup selalu
dalam terang benderang, penuh cahaya.
Makanya Si
Dali terus diiringi bayang-bayang. Bayang- bayang yang banyak. Ada yang pendek
ada yang panjang, ada yang gemuk ada yang kurus. Tentu saja ke mana pun dia
pergi selalu diiringi bayang-bayang. Karena memang bayang-bayang itu bayang-bayangnya
sendiri. Sebagai bayang-bayang, bayang-bayang itu senantiasa meniru apa saja
yang dilakukan Si Dali. Baik Si Dali makan, tidur, atau jalan-jalan. Tak
sekalipun bayang-bayang itu terpisah dari dia. Dan Si Dali yakin benar,
bayang-bayang itu ada karena dia.
Tanpa dia,
bayang-bayang itu semua sirna. Karena itu semua bayang-bayang memerlukannya.
Sangat memerlukannya.Berbeda dengan orang lain, yang tidak pernah peduli dengan
bayang- bayangnya sendiri. Karena mereka suka hidup bergelap-gelap di tempat
gelap. Seolah-olah bayang-bayang tidak menjadi makhluk penting.
"Bayangkan", kata Si Dali pada bayang- bayangnya sendiri ketika dia
lagi nongkrong di closet. "Jenis manusia apa yang hidup tanpa
bayang-bayang, selain manusia gelap yang suka bergelap-gelap?"
Si Dali juga membiarkan bayang-bayang menirukan dengan amat persis apa saja
yang dilakukan Si Dali. Apa salahnya bilamana semua bayang-bayang itu meniru
apa yang dilakukannya. Karena peniruan tidak merugikannya. Bagaimana pun
persisnya peniruan itu, satu hal yang tidak akan diperoleh bayang-bayang, yaitu
serba kenikmatan yang diregup Si Dali. "Tirulah oleh kalian serba apa yang
aku lakukan, tapi jangan coba-coba berkhayal akan ikut menikmati apa yang aku
regup. Karena serba kenikmatan bukan hak kalian. Itulah adalah aksioma."
0 komentar:
Posting Komentar